Sabtu, 03 September 2011

Beda beda beda



Pemerintah akhirnya menetapkan : Lebaran tahun ini jatuh hari Rabu!

Rupa-rupanya tahun ini kembali muncul perbedaan dalam berhari raya. Namun, seperti arti semboyan kita “Bhinneka Tunggal Ika”, berbeda-beda tapi tetap satu jua, hendaknya perbedaan tersebut tidak menimbulkan perpecahan. Saling menghormati.

Ya, seharusnya begitu. Namun, ternyata masalahnya tidak sesepele itu. Nampaknya perbedaan hari raya ini menimbulkan sepercik pertengkaran di antara sepasang anak adam yang sedang merencanakan pernikahan. Sebut saja namanya Popo dan Pipi.

Pipi,yang bapaknya merupakan aktivis Muhammadiyah, sudah terbiasa merayakan lebaran di mana 1 syawal-nya ditetapkan melalui metode hisab. Sebaliknya, Popo selalu ikut keputusan pemerintah, alias dengan melihat hilal.

Pipi pun bertanya pada Popo , “Popo, besok kalau kita sudah menikah, boleh ya aku lebaran duluan, ga bareng kamu?” tanyanya.

“Ga boleh, musti bareng” ujar si Popo. “kan istri musti ikut suami. Masa’ ga bareng”

“Tapi aku dah terbiasa begitu” protes si Pipi.

“Jangan memandang organisasi atau aliran, tapi pandanglah apa yang menurutmu benar” kata si Popo.

“Lha aku lebih sreg make yang metode itu kok” lanjut Pipi.

“Aku pernah dengar hadis, katanya musti liat hilal, kalau tidak memungkinkan, genapkan puasamu” Popo pun mengeluarkan argumennya.

“Aku tahunya kalo udah denger takbir, berarti puasanya musti berhenti” bantah Pipi.
“Lagian itu juga liat kok, udah 1 derajat berapa gitu.. “

“Liat di mana? Pakai mata telanjang gitu? “

“Tadi tu di siaran liat kok…udah 1 derajat gitu…”

“Hem, udah, tanya bapakmu dulu aja, kenapa pake metode hisab…ntar baru kita berargumen lagi”
***
“Pak, kenapa dalam menentukan lebaran musti make metode hisab?” pagi itu pun Pipi bertanya pada bapaknya. “katanya musti lihat hilal?”

“Ya memang, dari Rasulullah seperti itu. Tapi itu dulu, ketika ilmu pengetahuan belum berkembang. Sekarang sudah ada ilmu falaq, ilmu perbintangan yang sudah sangat berkembang. Kita bisa melihat pergerakan bulan, memakai alat-alat yang canggih seperti teleskop. Bahkan kapan terjadinya gerhana matahari, kita bisa menghitungnya. Sholat juga kan kita memakai hisab. Kapan waktu subuh, zuhur, dan sebagainya.”

Ibu Pipi pun sejalan, kali ini ditambah alasan kehati-hatian.
“Yang punya alam kan Allah, ya kita ga tahu kapan sebenarnya. Entah selasa, entah Rabu. Kalau ibu si mending utang daripada haram, jadi milih yang lebarannya dulu.”
***
“ Aku mau njelasin, tapi kamu ga boleh mbantah dulu!” kata Pipi saat ditanya Popo. Ceritanya Pipi mulai kesel dengan Popo yang tidak mengizinkannya beda hari raya kalau sudah menikah nanti.
“Iya, iya, aku diem” ujar Popo.
Maka, Pipi pun menyampaikan argument tersebut. Popo diam menyimak, tapi mulutnya gatel pingin menyela.
Setelah Pipi selesai menjelaskan, Popo pun mulai bicara.
“Boleh komentar ga?” tanyanya.
“Ga!” Pipi menjawab sebal.
“Yah, yaudah deh” Popo mengalah. Dia sudah terbiasa dengan sifat Pipi yang kekanak-kanakan.
“Yaudah, boleh” Pipi akhirnya membolehkan, merasa tidak adil pada Popo.
“Kalau waktu sholat, menurutku ga pake hisab, itu ngeliat mataharinya gimana… Misalnya..”
“Ya kan hisabnya juga pake ngeliat!” potong Pipi, kesal.
Popo menghela nafas. “ Terus, hisab itu kan berarti secara teori kan… trus kalau di prakteknya ternyata belum muncul gimana? Kan kadang teori tidak sesuai dengan kenyataannya” tambah Popo.
“Itu juga ngeliat pergerakan bulan kok, udah 1 derajat gitu…”
“Di mana? Kalau di arab emang iya, keliatan…tapi di Indonesia?”
“Tapi kemarin tanggal 31 udah sabit kok…”
“Ya jangan ngeliat dari satu kali aja dong…Pokoknya aku masih belum yakin sama metode yang itu..”
“Ih, yaudah si, kan keyakinan masing-masing…berarti boleh ah, beda” Pipi mulai jengkel. Inti pembicaraan ini kan bukan maksudnya Popo musti ngikut Pipi, tapi lebih ke boleh enggaknya Pipi besok beda ama Popo.
“Ga boleh”
“Otoriter! Kalau gitu aku ga mau nikah ama kamu!” Pipi mulai ngambeg.
“Yaudah..” Popo santai aja nanggepin Pipi. Maklum, masih bocah, pikirnya. Popo memang jauh lebih dewasa dibanding Pipi, maklum saja, umurnya kan lebih tua.
“Masa’ pisah hanya karena hal begini” ujar Pipi. Popo terkekeh. Nah lho, tadi padahal dah bersikeras ga mau nikah.
“Lha iya makanya, perbedaan kan jangan nimbulin perpecahan ah..” kata Popo.
“Berarti boleh beda ya?” tanya Pipi.
“Iya deh, tapi apa ga apa-apa? Kan suami musti jadi contoh buat istrinya, jadi kesannya kalau beda kan gimana gitu..” Popo masih bersikeras.
“Ya ga pa-pa ah. Kan yakinnya beda…Lagian sama-sama pakai landasan yang bener kan.. Ya yang tahu kebenarannya hanya Allah kan..kita hanya bisa berikhtiar..” ujar Pipi.
“Iya deh, yang penting perbedaan ga boleh bikin pecah ya..”
“Iya”
Akhirnya, percikan pertengkaran itu pun padam. Lebaran hari Selasa, atau Rabu, yang penting maknanya tetap satu : merayakan hari kemenangan, hari di mana kita kembali fitrah… Perbedaan jangan sampai menghancurkannya.


Kutoarjo, 4 September 2011








Tidak ada komentar:

Posting Komentar