Kamis, 01 September 2011

Kantin Kesabaran



Taburan gula halus di atas adonan bulat berlubang itu tampak begitu menggoda. Perutku sontak beraksi, mendendangkan lagu keroncongan yang khas, menandakan kelaparan akibat tak sarapan. Sudah dua hari kejadian seperti ini menimpaku. Yah, semenjak donat-donat itu tersuguh rapi dalam kardus bekas Aqua yang ditempatkan di meja panjang depan kelasku, aku tak mampu lagi  mengabaikan rasa kelaparan yang sebelumnya terasa biasa saja.
“Asyiiikkkk…donat…donat…donat!”  Asri, temanku bersorak riang menghampiri meja panjang itu. Tangan mungilnya mengambil satu bungkus donat gula halus, sembari memasukkan selembar uang bergambar Pattimura ke dalam kardus. Aku hanya bisa menatapnya lemas. Air liurku hampir menetes, tapi apa daya, isi kantongku tak cukup untuk membeli roti bolong itu. Yah, mau bagaimana lagi, aku hanya seorang anak buruh tani, hidup harus prihatin. Uang makan  sehari-hari saja susah, apalagi untuk membeli cemilan macam donat.
“Pengen donat, Bar?” tanya Husen yang tiba-tiba sudah ada di sebelahku. Aku mengangguk hampa.
“Kalau memang pengen, hutang saja dulu. Toh, namanya juga ‘Kantin Kejujuran’, nggak ada yang liat.... Besok pas sudah punya uang, baru bayar…” Husen mencoba memberi usul.
“Wah, usulmu boleh juga, Sen, tapi nggak apa-apa lah, besok-besok aja. Lagipula Bu Harni kan sengaja bikin kantin kejujuran ini untuk menanamkan nilai kejujuran pada kita. Masa’ kita mau bikin beliau kecewa?”  tolakku.
“Lho? Aku kan nggak mengusulkanmu untuk mencuri? Ngutang, Bar….Ngutang…. Besok kalau sudah ada uang, baru bayar” tegas Husen sedikit tersinggung.
“Aku tetap nggak mau Sen…. Masak baru SD sudah belajar berhutang, gimana besok gede?” ujarku.
“Hahh, terserahlah, aku kan cuma usul. Kasihan saja lihat wajahmu itu!” Husen sedikit jengkel.
“Hehe, maaf Sobat, kata bapak ibuku, walaupun kita miskin, sebisa mungkin jangan sampai ngutang, apalagi maling. Aku ingin mematuhi mereka. Maaf lho, jangan marah ya usulmu aku tolak” Aku berusaha mengembalikan suasana hati Husen. Husen itu sobat baikku, sebisa mungkin aku tidak mau bertengkar dengannya, apalagi hanya karena masalah sepele.
“Iya, nggak apa-apa. Usulku juga yang kurang pas buat kamu yang punya jiwa bak malaikat” godanya. “Aku kagum sama kamu, Bar. Sabar saja ya, siapa tahu besok ada rezeki untuk membeli donat” lanjut Husen. Aku hanya tersenyum tipis, dalam hati mengamini.
                                                ***
Keesokannya, aku menghampiri kardus donat dengan riang. Kemarin paman datang ke rumah, aku dikasih pesangon. Akhirnya, tercapai juga keinginanku membeli donat. Husen geleng-geleng kepala melihat tingkahku.
“Nih, Sen” kutawari ia sebungkus donat. “Aku yang traktir. Hitung-hitung syukuran akhirnya bisa nyicipin donat ini” lanjutku sambil tertawa.
“Wah, makasih Bar! Dari kemarin aku juga pengen banget ni donat, tapi sama kayak kamu, belum ada uang!” Husen tampak sumringah.
“Ga ngutang aja Sen?” sindirku. Pukulan Husen langsung mendarat halus di lenganku.
Aku hampir menggigit donat yang kuidam-idamkan selama ini, saat melihat seorang nenek tua melintas di depan SD-ku. Segera kuurungkan niat makanku, lantas bergegas menghampiri nenek tua yang tampak kelaparan itu. Husen mengikutiku, sambil terbengong-bengong. Lebih bengong lagi saat aku memberikan donatku  ke sang nenek.
“Kasian, neneknya lapar, Sen” terangku pada Husen. Husen mengangguk, lantas tanpa kuminta, tangannya pun ikut menyodorkan sebungkus donat yang juga belum sempat dimakannya.
“Terima kasih…Kalian anak-anak baik” ucap nenek itu, raut mukanya penuh syukur.
Kami mengangguk senang. Ucapan terima kasih itu sudah cukup membuat kami kenyang. Hem, sudahlah, semoga besok ada rezeki lagi untuk membeli donat.  Sabaaar…..Aku dan Husen saling menatap, lalu bersama-sama mengulum senyum puas.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar